Awas ada Pembajak Al-Qur'an
Suatu ketika, Amr bin al-’Ash, sebelum masuk Islam, pernah diutus kepada Musailamah al-Kadzdzâb. Musailamah lalu bertanya, “Apa yang saat ini turun kepada sahabatmu (Muhammad) di Makkah?”
Amr menjawab, “Sesungguhnya baru saja turun kepada Muhammad satu surah yang ringkas tetapi padat isinya.”
“Apa itu?” tanya Musailamah lagi.
Amr kemudian membaca al-Quran surah al-’Ashr, “Wa al-ashr. Inna al-insâna lafî husyr; illâ al-ladzîna âmanû wa ‘âmilû ash-shâlihât wa tâwâshaw bi al-haqq wa tawâshaw bi ash-shabr (Demi waktu. Sungguh, manusia itu selalu merugi; kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran). (QS al-’Ashr [103]: 1-3).”
Musailamah lalu berpikir sejenak. Ia kemudian berkata, “Sesungguhnya kepadaku juga baru saja turun wahyu yang serupa.”
“Apa itu?” tanya Amr.
Musailamah lalu membaca, “Yâ wabr, yâ wabr. Innamâ anta udzunâni wa shadr. Wa sâ’iruka haqr[un] faqr (Hai kelinci, hai kelinci. Engkau hanyalah binatang yang memiliki dua telinga dan dada, sementara di sekelilingmu ada lubang kecil).”
Setelah itu Musailamah bertanya, “Amr, bagaimana pendapatmu?”
“Demi Allah, engkau pasti tahu, bahwa aku tahu, sesungguhnya engkau ini pendusta!” jawab Amr. (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, I/203).
****
Pembaca yang budiman, terkait dengan ribut-ribut seputar nabi palsu beberapa waktu lalu, dalam kasus aliran al-Qiyadah al-Islamiyah atau Ahmadiyah, kita sering dihadapkan pada upaya para nabi palsu tersebut untuk “membajak” al-Quran. Kitab Tadzkirah, misalnya, yang diklaim oleh pengikut Ahmadiyah sebagai kumpulan wahyu dari Allah yang turun kepada Mirza Ghulam Ahmad, isinya tidak lebih dari upaya Mirza—la’natullâh ‘alayh—membajak al-Quran. Ayat-ayat al-Quran dia jiplak, kemudian redaksi dan maknanya dia plintir di sana-sini sesuai dengan kehendak hawa nafsunya. Jadilah Tadzkirah sebagai “al-Quran palsu”, yang kemudian dianggap oleh para pengikutnya sebagai kitab suci.
Mirza Ghulam Ahmad bukanlah orang pertama yang berupaya “membajak” al-Quran. Mirza hanyalah pengekor, bukan pelopor. Pelopornya adalah Musailamah al-Kadzdzâb, yang juga mengklaim sebagai nabi. Dia kebetulan hidup sezaman dengan Rasulullah Muhammad saw. Bedanya:
(1) Musailamah hanya membajak sebagian kecil al-Quran, yakni surah al-’Ashr, sebagaimana terpapar dalam riwayat di atas, sementara Mirza membajak al-Quran itu sendiri;
(2) Musailamah hanya membajak redaksi sebagian kecil al-Quran, sementara Mirza bukan hanya membajak redaksi sebagian besar al-Quran, tetapi sekaligus membajak maknanya.
Namun demikian, baik Musailamah maupun Mirza, juga para nabi palsu lainnya—la’natullâh ‘alayhim—sama-sama sesat dan menyesatkan (dhâll[un] mudhill[un]). Mereka adalah orang-orang kafir yang menyimpang dari al-Quran maupun as-Sunnah, sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani.
****
Jika kita cermati, selain orang-orang seperti Musailamah al-Kadzdzâb dan pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad, sebetulnya ada orang-orang selain mereka yang juga gemar “membajak” al-Quran. Di antara mereka, yang paling menonjol saat ini adalah kelompok Liberal. Kelompok Liberal memang tidak selancang Musailamah ataupun Mirza pendiri Ahmadiyah yang mengklaim kenabian.
Namun, mereka hakikatnya sama-sama “pembajak” al-Quran. Jika Musailamah hanya membajak redaksi al-Quran, lalu Mirza Ghulam Ahmad membajak redaksi sekaligus makna al-Quran, maka kaum Liberal membajak al-Quran dari sisi maknanya saja. Untuk mendukung paham pluralisme, misalnya, mereka memelintir nash li kull[in] ja’alnâ minkum syir’at[an] wa minhâj[an] (QS 5: 48) dengan memberikan makna bahwa setiap agama memang memiliki syariah yang berbeda-beda tetapi tujuannya tetap satu: Tuhan. Karena itu, menurut mereka, umat Islam tidak boleh memonopoli kebenaran sembari menganggap umat lain salah/sesat.
Padahal Allah sendiri menyatakan, hanya Islam agama yang diakui-Nya (QS 3: 19). Lalu untuk mendukung dialog antaragama, kaum Liberal juga sering memelintir makna kalimatun sawa (QS 3: 64) sebagai “titik temu” agama-agama. Intinya, menurut mereka, Islam dan agama-agama lain, meski berbeda-beda, memiliki core yang sama sehingga dimungkinkan adanya dialog antaragama.
Padahal Allah sendiri menyatakan, bahwa agama selain Islam adalah tertolak (QS 3: 85). Kemudian, untuk menolak jihad syar‘i sebagai perang melawan orang-orang kafir di jalan Allah, mereka sering memelintir makna jihad sekadar secara bahasa, yakni “bersungguh-sungguh”, atau paling banter dikatakan bahwa jihad hanyalah perang untuk membela diri (defensif). Padahal dalam sejarah, Rasulullah saw. sendiri lebih sering melakukan jihad ofensif (menyerang) dalam rangka futuhât untuk menyebarluaskan Islam. Demikian seterusnya. Singkatnya, sebagaimana Musailamah ataupun Mirza, kelompok Liberal kerap membajak al-Quran sesuai dengan kehendak hawa nafsu mereka.
Jika demikian, sesatkah kelompok Liberal, sebagaimana Musailamah al-Kadzadzab atau Mirza Ghulam Ahmad beserta para pengikutnya?
Ketika menafsirkan frasa, wa lâ adh-dhâllîn (bukan pula orang-orang yang sesat), dari potongan QS al-Fatihah ayat 7, para mufassir seperti Imam ath-Thabari, Imam al-Baidhawi, Imam al-Qurthubi dan lain-lain memaknai kata sesat (dhâll[un]) sebagai “menyimpang dari sunnah yang lurus dan jalan kebenaran”. Karena itulah, menurut ath-Thabari (I/195) maupun al-Baidhawi (I/11), Allah menyebut kaum Nasrani sebagai kaum yang sesat karena penyimpangan mereka dari kebenaran (baca: Islam).
Walhasil, sesungguhnya orang-orang kafir, kaum yang mengklaim Muslim tetapi meyakini adanya nabi setelah Rasulullah Muhammad saw., juga mereka yang suka membajak al-Quran—baik sekadar redaksinya saja, redaksi sekaligus maknanya, ataupun sekadar maknanya saja—sesuai dengan kepentingan hawa nafsu mereka, pada dasarnya adalah orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Na‘ûdzu billâhi min dzâlik! [doel]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar